Tentang Hari Kartini


Puisi Hari Kartini:
PERJUMPAAN MALAM ITU DENGAN KARTINI
(Helvy Tiana Rosa)
Ibu
Fotomu telah berulangkali dicetak untuk dipajang di pigura zaman negeri ini
Sejak Snouck Hugronje, Abendanon dan Estelle dari negeri merah putih biru
berilusi tentang gelap yang jadi terang,
kami digiring percaya
hingga ujung-ujung kebayamu
Maka setiap tiba pada hari itu, kami diingatkan
untuk berdiri tinggi di atas tebing hidup atas nama emansipasi
dan segala bentuk perjuangan sebagai gadis, istri, ibu, sebagai manusia.
Meski kadang kami tak mampu mengeja makna
bahkan kerap membolak baliknya semau kami,
kami katakan itu mimpimu
dan kami rayakan atas namamu, ibu.
Sebab selalu habis gelap terbitlah terang
Malam merayap sampai ke ubun-ubun hari
bulan pucat mengantar bayanganmu di beranda
Angin beringsut perlahan, sepi suara serangga
Seperti perih yang terlempar kembali ke abad lalu,
tiba-tiba kudengar lirih tangismu
di antara alunan gending yang gigil
Lalu sejumlah tanya mencabik,
bergema menyelusup ke sumsum masa
Kau bilang ada tangan-tangan yang mencipta
sosokmu sebagai ibu kami
dan itu bukan tangan pertiwi
Malam itu dalam gelap bibirmu mengucap nama-nama
Angin menuntun tangan putihmu
menulis para puan pemahat matari sejati
yang tak pernah bisa sungguh-sungguh disembunyikan musim
:Safiatu
Puisi Hari Kartini:
PERJUMPAAN MALAM ITU DENGAN KARTINI
(Helvy Tiana Rosa)
Ibu
Fotomu telah berulangkali dicetak untuk dipajang di pigura zaman negeri ini
Sejak Snouck Hugronje, Abendanon dan Estelle dari negeri merah putih biru
berilusi tentang gelap yang jadi terang,
kami digiring percaya
hingga ujung-ujung kebayamu
Maka setiap tiba pada hari itu, kami diingatkan
untuk berdiri tinggi di atas tebing hidup atas nama emansipasi
dan segala bentuk perjuangan sebagai gadis, istri, ibu, sebagai manusia.
Meski kadang kami tak mampu mengeja makna
bahkan kerap membolak baliknya semau kami,
kami katakan itu mimpimu
dan kami rayakan atas namamu, ibu.
Sebab selalu habis gelap terbitlah terang
Malam merayap sampai ke ubun-ubun hari
bulan pucat mengantar bayanganmu di beranda
Angin beringsut perlahan, sepi suara serangga
Seperti perih yang terlempar kembali ke abad lalu,
tiba-tiba kudengar lirih tangismu
di antara alunan gending yang gigil
Lalu sejumlah tanya mencabik,
bergema menyelusup ke sumsum masa
Kau bilang ada tangan-tangan yang mencipta
sosokmu sebagai ibu kami
dan itu bukan tangan pertiwi
Malam itu dalam gelap bibirmu mengucap nama-nama
Angin menuntun tangan putihmu
menulis para puan pemahat matari sejati
yang tak pernah bisa sungguh-sungguh disembunyikan musim
:Safiatuddin Syah Tajul Alam, Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, Siti Aisyah We Tenriolle
dan ribuan perempuan lain
: “Mereka yang paling sejarah!” katamu. “Tidakkah kalian bisa menyaksi?”
Lalu kau hampiri aku yang termangu, pias dan menggigil
Dengan tangan gemetar kau serahkan penamu padaku
“Tuliskan ribuan nama lain!” isakmu
Aku ingin mengucap sesuatu atas hormatku padamu, Ibu,
tapi suaraku hilang dihisap malam
Dan pena itu meliuk sendiri di udara, menuliskan lagi nama-nama di atas pulau-pulau negeri, menjelma kembang api
dan lempengan cahaya paling kemilau: para puan pemahat matari, yang tak pernah bisa sungguh-sungguh disembunyikan musim
:Safiatuddin Syah Tajul Alam, Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, Siti Aisyah We Tenriolle dan ribuan perempuan lain
Lalu sayup kudengar lagi suaramu dibawa angin sampai jauh
: aku adalah hanya, tercipta dari surat-surat lara yang paling entah
aku lahir dari sejarah yang dikebiri
Malam itu aku tersedak, bahkan tak bisa mengucapkan resah
yang berlarian melintasi tingkap jendela
Kupeluk fotomu sambil terus menulis tak terhingga nama
yang kutanam kembali di nadi dan belantara benak zaman
:Ibu!
(21 April 2012)
ddin Syah Tajul Alam, Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, Siti Aisyah We Tenriolle
dan ribuan perempuan lain
: “Mereka yang paling sejarah!” katamu. “Tidakkah kalian bisa menyaksi?”
Lalu kau hampiri aku yang termangu, pias dan menggigil
Dengan tangan gemetar kau serahkan penamu padaku
“Tuliskan ribuan nama lain!” isakmu
Aku ingin mengucap sesuatu atas hormatku padamu, Ibu,
tapi suaraku hilang dihisap malam
Dan pena itu meliuk sendiri di udara, menuliskan lagi nama-nama di atas pulau-pulau negeri, menjelma kembang api
dan lempengan cahaya paling kemilau: para puan pemahat matari, yang tak pernah bisa sungguh-sungguh disembunyikan musim
:Safiatuddin Syah Tajul Alam, Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Rohana Kudus, Christina Martha Tiahahu, Rasuna Said, Siti Aisyah We Tenriolle dan ribuan perempuan lain
Lalu sayup kudengar lagi suaramu dibawa angin sampai jauh
: aku adalah hanya, tercipta dari surat-surat lara yang paling entah
aku lahir dari sejarah yang dikebiri
Malam itu aku tersedak, bahkan tak bisa mengucapkan resah
yang berlarian melintasi tingkap jendela
Kupeluk fotomu sambil terus menulis tak terhingga nama
yang kutanam kembali di nadi dan belantara benak zaman
:Ibu!
(21 April 2012)


Ada yang pernah baca puisi ini sebelumnya?
Puisi Helvy ini seirama dengan kegalauanku selama ini tentang Kartini... tidak bermaksud mengecilkan peranan beliau, tapi rasanya masih banyak perempuan lain yang namanya tak kalah harum dibandingkan Kartini...

Terlebih lagi dengan perayaan-perayaan yang mendompleng di balik nama beliau yang seringnya hanya sebatas seremoni...

ehm... sebenernya kepengen nulis ini karena abis ikutan acara yang katanya peringatan Hari Kartini.. namun diisi dengan lomba menari dengan gerakan2 sensual yang menurutku justru tidak mencerminkan Kartini itu sendiri...

hmmm....
yasudah, gitu aja..
abaikan curhatan ga jelas di bawahnya
fokus saja sama puisinya bunda Helvy


Setelah Dua Tahun Menghilang


Duhkan.. ke mana aja aku dua tahun ini. Boro2 nambah postingan, blogwalking juga udah ga pernah. Dasar Pemalas!

Tetiba ingin kembali mengisi halaman demi halaman nunuymarkunuy ini... Lagi pengen meracau soalnya. Kalo meracau sendiri disangka stress beneran, meracau sama yang lain kesian yang diracauin nanti malah jadi stress sebenar2nya...

apa si yang pengen diracauin?
ga tau juga.. namanya meracau ya gak jelas.

pokoknya cuma pengen mengeluarkan kata-kata...
kata-kata
kata
kata dan kata

wkwkwkwk

mulai kan geje

emmm... jadi semalam itu aku pulang malem dong.. jam delapan kurang lebih baru sampe rumah.
seharian kemaren kerjaanku random banget coba.

Pagi-pagi langsung buru-buru ke KPPN, daftarin user SAKTInya pak PPK yang baru. Pulang dari KPPN istirahat bentar, ee disuruh ke aula karpil latian buat flashmob. (duhkaaah... lomba apaan sih ini.. malesin -tapi seneng. preeet-)

belom kelar ngos-ngosannya.. langsung inget ngerekam absen buat ngitung uang makan.. baruuu juga dapet seperempat dah didatengin bu kasubag, diminta bantu2 di lantai 8. Kebetulan lagi ada acara, mo ada Wamen maen ke kantor..

 daaaan..

drama pun dimulai

Singkat cerita, diriku jadi tukang bantu2 di area konsumsi. Diawali dengan mengantarkan cangkir-cangkir teh ke meja pak wamen dan para eselon 2... kemudian nongkrong-nongkrong geje di lt. 8 takutnya diperluin tenaganya (iyes.. emang tenaga yang dipake).. dan ternyata beneran kepake buat naik turun tangga ambil stempel buat stempelin itu berkas SPD para tamu.

melipir-melipir kabur ke lantai 6. ngerjain uang makan dan uang lembur... baruuu juga menikmati kerjaanku sesungguhnya sebentar saja (dan jelaslah belom kelar) udah diminta ke lantai 8 lagi.. manut lah.. aku kan pelaksana penurut, baik hati, tidak sombong dan suka menolong...

standby lgi di area konsumsi..

ga ngapa2in. nongkrong aja. Kalo pas tamu butuh sesuatu biar bisa sigap mbantu..

magrib dong... dan acara ga kelar2..

mereka selese makan malam, kami (grup konsumsi) berencana untuk langsung ngacir bubar jalan ga nunggu yang di dalem kelar... Tapi tak disangka-sangka datanglah 2 (itu wadah nasi yang guede banget itu namanya apa yak? termos nasi? gedenya sepelukan aku lah...) (baik, sebut saja termos) termos kikil beserta lontong dan atributnya..

kami disuruh nata doong..
padahal petugas catering baruuuuuuu aja beresin meja dan segala perlengkapan makan. Wong baru aja pada makan malem, masa mau makan lontong kikil lagi sih. Entar mereka kolesterol tinggi gimana??

terus, ga mungkin kan kami menyajikan lontong kikil di termos gede itu.. Akhirnya aku berinisiatif nyuci panci (seriusan aku sampe nyuci panci di kantor.. demi apaaaaa?) bekas kuah makanan sebelumnya... buat naro kikil di situ, dan dipanasin lagi pake kompor meja..

sementara mbak lisa kebagian motongin lontong yang juga masih utuh dalam balutan daun pisang yang hijau meneduhkan (preeet)

tapi derama belom berakhir...
karena, astaga itu kikilnya ukurannya gede amatt...

jadi, itu lembaran2 kikil yg gedenya minta ampun itu aku guntingin kecil2.. biar lebih manusiawi untuk disajikan.. dibantu sama ibu kasubag yg melakukan hal yang sama di panci satunya (yang dicuciin sama mas catering...)

dalam kerusuhan yang tak berkesudahan itu...

para peserta rapat tiba2 keluar.. bubar... semburat dari aula..

dan.. kikil yang kami upayakan sekuat tenaga itu ga disajikan ke mereka...

biar menjadi jatah makan malam para satpam, cs, dan mungkin keluarganya..

sama temen2 panitia yang juga masih sibuk beres2

aku.. ngaburr

udah malem dong..

sampe rumah, kevin udah bobo. hiks.. ga sempet maen sama diaaa

"serius nuy, 2 tahun ngilang terus balik lagi cuma mosting giniaan?"
"eeeem... emangnya gak boleh?"
"ya boleh aja sih.. tapi mbok ya meracau yang lebih berisi gitu nuy!"
"maaf yaa.. yg berisi cuma perut sayah nih... otaknya masih butuh asupan. hehehehe"

yasudah..
mari kita kerja..
uang makan sama lemburnya kan belom selese dikerjain kemaren.

oia...

ok, sip, thank you, bye....
#Aul Mode On