Salju


Akhirnya kesadaran itu kembali padaku. Perlahan, pemahaman itu sampai ke pemikiranku. Sekeras apapun aku menangis, tak akan mengubah apapun. Jadi, tak ada gunanya lagi aku meratap di tempat ini. Aku masih harus melanjutkan hidupku.


Satu jam yang lalu, sahabat-sahabatku beranjak pulang. Tak ada keluarga yang datang. Membuatku betul-betul sendiri. Aku tidak perlu kata-kata penghiburan. Hanya waktu, serta kesempatan untuk merenung. Itu saja yang aku butuhkan.

Lukisan di dinding kamar, foto-foto di atas bufet, di meja rias, menggantung di figura, juga di dompet. Menyeretku lagi pada kekalutan yang terjadi beberapa jam yang lalu. Kekalutan yang menjebloskanku pada kesunyian ini.

"Adik kuat bang" Ia menggenggam tanganku erat. Aku hanya tersenyum menyemangati. Mengusap bulir-bulir keringat di kening, di pipi, di dahi, di leher.. ah, begitu banyak ia berkeringat.

"EEERRRrrgggghhh" Erangan panjang ke sekian dari mulutnya. Tapi kali ini lebih lemah. Aku mengecup keningnya.

Lalu tiba-tiba keributan di ruang bersalin itu membingungkanku. Suster berteriak-teriak tentang tekanan darah, placenta, darah, dan istilah-istilah yang asing di telinga. Lalu mereka sibuk berlalu lalang. Menyerukan ini itu. Dokter memberi instruksi. Sementara genggamannya semakin lemah. Hingga ia terkulai di bahuku. Lemas.

Kepanikan itu berlanjut sampai ke ruang operasi. Tempat yang tak bisa aku masuki. Hanya tandatanganku di selembar kertas yang menemani istriku. Aku tak mendapat izin.

Sahabat-sahabat berdatangan. Menguatkan. Tapi di negeri yang jauh dari rumah, aku tak bisa mengharap pelukan keluarga terdekat. Hanya suara-suara mereka bergantian memberi semangat.

Tapi, sekeras apapun kami berdoa. Tetap tak bisa memanggil tangis bayi dari ruangan bercat putih itu. Dua jam, dokter keluar dengan muka kuyu. Begitupun aku. Tapi kabar yang dibawanya membuatku mati rasa.

Tak ada yang bisa diselamatkan. Istriku, dan bayi kami. Beruntung aku masih bisa berdiri tegak. Hingga berjam-jam kemudian. Tanpa tangis. Sibuk mengurus ini itu. Dan menggendong bayiku untuk pertama dan terakhir. Mengantarkannya hingga ke liang lahat.

"Abang kuat, dik" Aku menggenggam album foto terakhir kami. Aku yang mengelus perut besarnya.

Ah, musim dingin ini akan membuatku lebih gigil dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga salju tak membuat istri dan anakku membeku.

Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku



2 komentar:

Unknown mengatakan...

badai gan! keren hahaha

nunuy markunuy mengatakan...

makasii... :D